REVITALISASI PENDIDIKAN KEMUHAMMADIYAHAN

A. Pendahuluan

Satu hal yang perlu direspons secara positif manakala membincangkan tentang Muhammadiyah ialah kemampuannya dalam melintasi setiap pergerakan zaman yang berbeda. Bagi Muhammadiyah, upayanya selama ini untuk mempertahankan diri dari berbagai macam “godaan” dan “cobaan” bukanlah suatu hal yang mudah. Dari zaman kolonial, prakemerdekaan, kemerdekaan, era orde lama, orde baru, hingga orde reformasi saat ini, Muhammadiyah tetap eksis dalam mewujudkan tatanan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Telah banyak para pengamat dan pemikir yang memberikan apresiasi terhadap upaya-upaya yang diselenggarakan Muhammadiyah. Satu sisi, terdapat cendekiawan muslim yang mengatakan jika eksistensi Muhammadiyah hingga usianya mencapai satu abad (seratus tahun) ini disebabkan karena Muhammadiyah cenderung kooperatif terhadap setiap kebijakan yang muncul. Selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dan merugikan umat Islam, maka Muhammadiyah tetap akan akomodatif.

Di sisi lain, pola gerakan yang dikembangkan Muhammadiyah cenderung ke arah pemberdayaan masyarakat, dibandingkan ranah politik. Artinya, Muhammadiyah bu-kanlah organisasi politik layaknya partai politik, tetapi gerakan sosial keagamaan. Hal inilah yang secara jelas membedakan Muhammadiyah dengan “Saudara Tuanya” (Syarikat Islam) yang mengambil ranah politik dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. Sejak Indonesia belum mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, Muhammadiyah telah menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf, pendi-rian lembaga-lembaga pendidikan, sosial-ekonomi, dan juga menggiatkan kajian kea-gamaan. Realitas kesejarahan inilah yang telah menjadikan Mitsuo Nakamura menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki banyak wajah (dzu wujuh).

Memang, setiap orang yang mengkaji tentang amal usaha Muhammadiyah, khususnya dalam bidang pendidikan, akan dihadapkan pada dua hal, yaitu: rasa bangga dan juga miris. Perasaan bangga akan muncul manakala data-data kuantitatif coba disajikan ke permukaan. Bagaimana mungkin sebuah organisasi sosial keagamaan layaknya Muhammadiyah mampu mengelola dan mendirikan ribuan amal usaha pendidikan, mengelola ratusan ribu guru dan dosen, dan jutaan anak didik. Begitu besarnya jumlah amal usaha pendidikan yang dikelola Muhammadiyah acapkali menjadikan banyak orang yang terpukau. Imam Prihadiyoko, dkk misalnya telah menyebut bahwa Muhammadiyah merupakan “raksasa pendidikan” (hal: 19).

Sementara, perasaan miris justru akan muncul apabila disajikan data-data yang terkait dengan kondisi dan bahkan kualitas pendidikan Muhammadiyah. Tidak sedikit amal usaha pendidikan Muhammadiyah yang belum terkelola dengan baik. Meski ada sebagian di antara institusi pendidikan Muhammadiyah yang memiliki kualitas yang relatif baik dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Namun, sebagi-an besar di antaranya justru masih berjalan di tempat. Bahkan, ada sebagian di antara-nya yang “mengekor” lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang baru saja tumbuh dan berkembang pasca reformasi.

Realitas demikian itu tentunya dapat dipahami, karena suatu amal usaha dengan jumlah yang besar pasti di antaranya terdapat sejumlah “produk gagal”, sehingga me-nyebabkan mutu produk rata-rata atau secara keseluruhan menurun (hal: xxix). Banyaknya “produk gagal” tentu saja akan berdampak pada keluaran (out put) pendidikan. Ketika banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang belum mampu mem-produk anak didik sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka hal ini secara langsung berdampak pada kurangnya kepercayaan (trust) publik.

Saat ini, tanda-tanda “bergesernya” kepercayaan masyarakat itu sedikit banyak sudah mulai nampak. Dari sekian banyak gejala yang telah menunjukkan tanda-tanda tersebut adalah sikap masyarakat yang telah menempatkan lembaga pendidikan Mu-hammadiyah berada pada urutan nomor dua, setelah sekolah negeri ataupun sekolah- sekolah swasta berlabel Islam non Muhammadiyah (hal: 75). Menghadapi realitas de-mikian, perasaan gusar, galau, dan bahkan hilangnya rasa percaya diri telah hinggap di sebagian pengelola pendidikan Muhammadiyah. Ironisnya, hadirnya perasaan se-macam itu juga melahirkan disorientasi kognisi di antara sebagian pengelola pendidi-kan Muhammadiyah.

Keadaan sosial yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Muhammadiyah itu tentu saja sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di masa lalu. Jika dulu pendidikan Muhammadiyah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai institusi modern dan layak menjadi tempat pengharapan masyarakat perkotaan serta kelas menengah, namun mengapa sekarang posisi itu justru bergeser menjadi pilihan kedua? Jika dulu, pendidikan Muhammadiyah mampu melahirkan generasi-generasi berkepribadian utuh sekaligus sanggup menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah, namun mengapa sekarang ini banyak keluaran pendidikan Muhammadiyah yang “jauh” dari Muhammadiyah?

B. Definisi Istilah

  1. Revitalisasi

Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata “vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya.

Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan pendidik.
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang utama.

Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.

C. Pendidikan Muhammadiyah

Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana “Robohnya Sekolah Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.

Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.

Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integralistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah.

D. Problem Pendidikan Muhammadiyah

Kesenjangan antara cita dan fakta dalam dunia pendidikan Muhammadiyah inilah yang dengan serta-merta diungkap oleh Farid Setiawan, Sucipto, dan Desti Liana Kurniati. Melalui buku “Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah” ini, ketiga kader Muhammadiyah itu mencoba melakukan autokritik terhadap pergeseran orientasi dan penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah. Analisis demi analisis diungkapkan secara tajam dari bab ke bab dan halaman ke halaman. Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, para penulis buku ini juga tidak “segan-segan” menghadirkan para pakar pendidikan Muhammadiyah sebagai penulis prolog dan epilog.

Boleh jadi, pelibatan para pengambil kebijakan pendidikan Muhammadiyah, seperti Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed selaku Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Dr. Tasman Hamami, M.A sebagai Ketua Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta, merupakan wujud dari “rekomendasi kultural” yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Setidaknya, penulis buku ini hendak mengingatkan para pengambil kebijakan pada khususnya, dan warga persyarikatan secara umum agar selalu memperhatikan nasib pendidikan Muhammadiyah. Partisipasi warga Muhammadiyah dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah memang perlu sekali lagi ditingkatkan. Mengingat, keadaan internal di sebagian institusi pendidikan Muhammadiyah sudah sedemikian kritis.

Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem ideologis, problem paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan pendidikan. Pertama, problem ideologis. Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah penekanan aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan kependidikan Muhammadiyah (hal: 58). Bagaimanapun, pertimbangan profesionalitas pegawai merupakan aspek yang penting. Akan tetapi, pertimbangan ideologis juga tak kalah pentingnya dibandingkan kompetensi profesional seseorang.

Apa jadinya jika lembaga pendidikan Muhammadiyah yang telah tumbuh besar dan mengurat berakar, namun dikendalikan oleh para pimpinan yang mengedepankan aspek profesionalitas semata? Bukan tidak mungkin apabila hal itu dapat menimbulkan perceraian antara pimpinan amal usaha dengan pimpinan Muhammadiyah (hal: 59). Telah banyak kasus di lapangan yang sesungguhnya menunjukkan adanya indikasi perceraian kedua pimpinan tersebut. Meskipun problem perceraian itu di latar belakangi oleh banyak faktor, namun pada umumnya keadaan tersebut didorong oleh “miskinnya” pengalaman dan pengetahuan para pimpinan amal usaha pendidikan terhadap hakikat perjuangan Muhammadiyah.

Terkait dengan persoalan di atas, para penulis buku ini mengutip pendapat Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Menggugat Muhammadiyah (2000)”. Menurut Munir: orang-orang tersebut cenderung menjadi Muhammadiyah dadakan. Dengan tanpa harus berproses, Muhammadiyah dadakan ini ironisnya justru diberi-kan kelonggaran untuk menggunakan fasilitas yang ada. Lebih ironis lagi, para Muhammadiyah dadakan tersebut justru ditempatkan sebagai pucuk pimpinan guna mengelola lembaga pendidikan Muhammadiyah, seperti halnya di sekolah-sekolah (hal: 20).

Dengan begitu longgarnya ”kesempatan” para Muhammadiyah dadakan tersebut, maka menjadi wajar jika banyak di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung menjadi pasar ideologi (hal: 60). Adapun maksud istilah pasar ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-paham tersebut tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.

Kedua, problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan tujuan Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk kesalahan dalam memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi melihat sejarah secara kritis, sehingga seringkali terjebak pada romantisme seja-rah itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap masa depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan institusi pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan diri (hal: 110-111).

Di samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di antara keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan pelbagai program-program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal usaha yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA di-tempatkan sebagai pelengkap (hal: xxxii).

Ketiga, problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah (grass root), seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.

Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya sedikit. Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak terencana dengan baik. Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab “lemahnya” lembaga pendidikan Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat konvensional dan dialihkan menjadi manajemen mutu terpadu (hal: 108).

Keempat problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga sekolah. Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih ditujukan kepada pihak penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen belum memiliki blue print yang jelas mengenai pola pengembangan pendidikan Muhammadiyah (hal: 180). Kerja-kerja praktis (untuk tidak dikatakan pragmatis) administratif dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan.

Dalam keseharian, pihak penyelenggara cenderung habis energinya dalam mengurusi beban struktural, dibanding melahirkan karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan pihak pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.

 

D. Penutup

Pemikiran pendidikan itu mandeg, terhenti. Penyebab kemandegan itu adalah miskinnya pemikiran dan filsafat pendidikan di kalangan pengambil kebijakan (hulu) dan praktisi pendidikan (hilir) di satu sisi. Dan dominannya intervensi politik dan tarikan ekonomi pasar di sisi yang lain. Dalam situasi demikian, pendekatan filosofi dalam memahami dan menangani masalah-masalah pendidikan dirasakan amat mendesak agar bisa terhindar dari berbagai godaan yang menghalangi tumbuhnya pemikiran pendidikan.

Mohammad Abduhzan (kompas, 28/12/2006) menengarai ada tiga hal yang membuat pemikiran (filsafat) pendidikan kita tidak berkembang. Ketiga hal itu adalah dominannya kepentingan politik, miskin pendekatan dan metodologi pembelajaran, serta kuatnya jiwa korupsi dalam kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Padahal, dalam konteks pendidikan, filsafat masuk pemikiran tinggkat tinggi sehingga sedikit sekali praktisi dan pengambilan kebijakan yang menyadari manfaatnya dalam pengembangan pendidikan.

Tinggalkan komentar